HUKUM MENUKAR UANG BARU SAAT LEBARAN


Menjelang libur Lebaran, orang-orang mulai menyiapkan uang pecahan nominal kecil. Fenomena ini ditangkap oleh sebagian orang, hingga kemudian di pinggir jalan muncul orang-orang yang menerima jasa penukaran uang. Apakah hukumnya termasuk riba? Karena dalam transaksi tersebut ada penambahan nominal, sekitar 10 hingga 20 persen.
Pandangan ini muncul karena hadits Rasulullah saw dalam Shohih Muslim:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584).
Dari keenam komoditi tersebut, ulama membaginya menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama adalah: Emas dan perak. Yang dapat diqiyaskan dengan kelompok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar, seperti uang kartal di zaman kita saat ini. Kelompok kedua adalah: gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Yang dapat diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang dapat disimpan (al-qut al-muddakhar), seperti beras atau jagung.
Dengan demikian, menurut pandangan tersebut, maka uang rupiah merupakan alat tukar yang sah yang sepadan dengan emas dan perak, yang tidak boleh ditambah takarannya dalam penukaran.
Dalam sudut pandang lain, jika melihat berdasarkan sudut pandang dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba. Seperti keterangan di atas. Namun, jika yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma'qud 'alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah. Ijarah sebenarnya adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang. Karena ijarah adalah sejenis jual beli, maka ia bukan termasuk kategori riba.
Perbedaan orang dalam memandang masalah ini muncul karena perbedaan mereka dalam memandang titik akad penukaran uang itu sendiri (ma'qud 'alaih). Sebagian orang memandang uang sebagai barang yang dipertukarkan. Sementara sebagian orang memandang jasa orang yang menyediakan uang merupakan suatu jasa penukaran. Tetapi terkadang barang itu sendiri mengikut sebagai konsekuensi atas akad jasa tersebut.
Tarif yang harus dibayarkan pada penukaran uang di pinggir jalan adalah jasanya, bukan pada barangnya, yaitu uang. Soal tarif jasa penukaran uang ini memang tidak diatur di dalam fiqh. Tarif jasa disesuaikan dengan kesepakatan atau keridhaan antara kedua belah pihak.
Referensi:
- KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib
- Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani, Nihayah az-Zain
- Abu Bakr Syatha, I’anah al-Thalibin ‘ala Halli Alfadz Fath al-Mu’in
-
penerimaan santri baru 2025-2026
1,792 -
Santri Pondok Pesantren Nahdlatussubban Raih Prestasi dalam Lomba MTQ dalam Pekan Olahraga dan Seni tingkat Madrasah Aliyah (MA) Se-Kabupaten Pacitan
510 -
Penetapan libur Hari Raya Idul Fitri 1446 H
244 -
Penetapan libur dan masuk awal Ramadhan 1446 H
229 -
Safari Ramadan, Menapaki Jejak pengabdian dan Dakwah
205 -
Nasionalisme Santri
198 -
Pimpinan Pondok Pesantren Nahdlatussubban Sampaikan Ucapan Selamat Hari Jadi Kabupaten Pacitan ke-280
185 -
Indonesia Gelap dan Ramadhan
179