PERBEDAAN AMIL DAN PANITIA ZAKAT

author avatar
PP Nahdlatussubban
Apr 11, 2025 2 months ago
hero image

Pada setiap bulan Ramadhan, seluruh umat Islam wajib menunaikan Zakat Fitrah. Zakat sebagai salah satu dari rukun Islam, merupakan kewajiban dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Tidak bisa hanya berdasarkan kesepakatan masyarakat tanpa berlandaskan dalil yang benar.

Fenomena yang terjadi, banyak “amil” yang dibentuk baik di masjid, mushola, maupun lembaga pendidikan. Sebagian orang tidak bisa membedakan antara amil dengan panitia zakat. Anggapannya, bahwa orang yang mengurus dan mengelola zakat pasti disebut amil. Padahal tidak demikian. Meski bertujuan baik, penting untuk diketahui perbedaan keduanya, sehingga ketika melayani para muzakki tidak menyalahi syariat.

Amil zakat adalah seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan zakat. Atau bisa juga seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan disahkan oleh pemerintah untuk mengelola pelaksanaan zakat.

Di Indonesia, amil resmi diatur sesuai UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan PP Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah: (1) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS); (2) Lembaga Amil Zakat (LAZ); (3) Amil Perseorangan dan Kumpulan Perseorangan untuk wilayah yang tidak terjangkau BAZNAS atau LAZ resmi.

Dengan demikian, pengelola atau panitia zakat bentukan sekelompok masyarakat seperti di masjid, mushola, dan lembaga pendidikan, selama tidak menginduk pada BAZNAS atau LAZ sesuai ketentuanya, maka tidak bisa disebut sebagai AMIL. Mereka hanya kepanitiaan yang membantu pelaksanaan zakat masyarakat yang dalam pandangan fiqih tidak termasuk bagian dari amil, melainkan sebagai wakil muzakki.

Amil adalah wakil dari orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiqquz zakah), sehingga bila terjadi penyelewengan dalam pengelolaan zakat, kewajiban zakat muzakki sudah dianggap gugur. Dengan kata lain, zakat sudah dianggap sah dengan menyerahkannya kepada amil zakat.

Sedangkan panitia zakat adalah wakil dari muzakki, sehingga dampaknya bila terjadi penyelewengan dalam pengelolaan zakat, kewajiban zakat muzakki belum dianggap gugur. Dengan kata lain, zakat belum dianggap sah sehingga benar-benar tersalurkan sampai kepada mustahiq.


SYARAT SEORANG AMIL

Hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 2017 yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat menyebutkan bahwa amil dibagi menjadi dua. Pertama adalah ‘amil tafwidl, yaitu amil yang diberi kewenangan secara menyeluruh untuk mengurusi harta zakat. Kedua, ‘amil tanfidz, yaitu amil diberi kewenangan terbatas dalam mengurusi zakat seperti diberi tugas sebatas memungut dan mendistribusikannya.

‘Amil Tafwidl memiliki 9 syarat, antara lain: (1) Islam; (2) Laki-laki; (3) Mukallaf; (4) Adil dalam seluruh kesaksian; (5) Orang yang merdeka (bukan budak); (6) Memiliki pendengaran yang baik; (7) Memiliki penglihatan yang baik; (8) Memahami fiqih zakat dengan baik; (9) bukan keturunan Bani Hasyim.

Adapun syarat yang harus dipenuhi seseorang agar bisa diangkat menjadi ‘Amil Tanfidz adalah hampir sama dengan ‘Amil Tafwidl, tetapi lebih longgar. Dalam konteks ‘Amil Tanfidz tidak disyaratkan harus menguasai fiqih zakat, begitu juga tidak harus laki-laki, orang yang merdeka, dan Islam. Kelonggaran ini karena tugas ‘Amil Tanfidz titik tekannya lebih kepada keperantaraan (sifarah/risalah) bukan kewenangan kekuasaan (wilayah).


PROSEDUR PENGANGKATAN AMIL

Adapun prosedur pengangkatan amil zakat sama dengan prosedur pengangkatan hakim dan jabatan-jabatan kekuasaan lainnya. Sehingga ada beberapa prosedur yang harus diperhatikan.

Pertama, Amil Zakat merupakan salah satu yang masuk kategori jabatan kekuasaan (wilayah). Karenanya, pengangkatan amil zakat menjadi sah apabila dilakukan dengan pernyataan yang mengesahkan kekuasaan atau kewenangan amil zakat. Pengangkatan ini bisa dilakukan secara langsung apabila memang pihak calon amil hadir di tempat pengangkatan atau pelantikan. Dan bisa juga ditempuh dengan cara tidak langsung, yaitu dengan surat pengangkatan resmi, apabila ia tidak hadir di tempat pengangkatan. Hal ini seperti dalam pengangkatan calon hakim.

Kedua, Muwalli atau pihak yang mengangkat. Dalam hal ini bisa kepala negara atau pejabat di bawahnya atau pejabat pembantu mengetahui bahwa muwalla (pihak yang diangkat/calon amil zakat) telah memenuhi kualifikasi persyaratan untuk diangkat sebagai amil zakat. Konsekuensinya jika pihak yang mengangkat ternyata tidak mengetahui kredibilitas dan kualitas yang dipersyaratkan bagi calon amil yang diangkatnya maka pengangkatannya tidaklah sah.

Ketiga, Muwalla (calon amil) mengetahui bahwa muwalli berhak mengangkatnya. Disamping itu juga ia mengetahui dengan pasti jika muwalla telah mengangkat dirinya sebagai amil zakat sehingga ia berhak menjadi kepanjangan tangan muwalli dalam soal urusan zakat. Kemudian muwalla menyampaikan kesanggupannya untuk menjadi amil atau atau langsung bekerja.

Keempat, dalam pengangkatannya, disebutkan tugas amil mengenai penanganan zakat secara jelas. Penyebutan ini menjadi penting agar amil zakat yang diangkat mengetahui sejauh mana wilayah tugas yang diembannya.

Kelima, dalam pengangkatannya disebutkan daerah kerja amil. Hal ini bertujuan agar ia dapat mengetahui dengan persis mana yang daerah yang menjadi kewenangannya dalam urusan zakat dan yang bukan.


Referensi:

  1. Muhammad Mahfudz bin Abdillah at-Tarmasi, Hasyiyah at-Tarmasi
  2. Abu Zakariya Yahya An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab
  3. Syarafuddin Musa bin Ahmad al-Hijawi, Al-iqna’ fi Fiqhi Ahmad ibn Hanbal